Dampak musyaqah fasid menurut para ulama:
1. Dampak musyaqah fasid menurut ulama Hanafiyah:
a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun
c. Jika musyaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah
2.
Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqah rusak sebelum penggarapan, upah
tidak diberikan. Sebaliknya, apabila musyaqah rusak setelah penggarap
bekerja atau pada pertengahan musyaqah, penggarap berhak mendapatkan
upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di antara contoh
musyaqah fasidah menurut golongan ini adalah penggarap mensyaratkan
adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap bekerja
untuk mendapatkan upah.
Namun demikian, jika musyaqah rusak karena
kemadaratan atau ada halangan, masalah musyaqah tetap diteruskan
sekadarnya (musyaqah mitsil).
3. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata
bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat
dari jerih payahnya dalam musyaqah.
Di antara hal-hal yang
menyebabkan musyaqah rusak, menurut golongan ini, adalah dua pihak tidak
mengetahui bagiannya masing-masing; mensyaratkan uang dengan jumlah
yang ditentukan; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik
harus bekerja; mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.
Habis Waktu Musyaqah
Menurut Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagaimana dalam mujara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara:
1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
Jika
waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh
berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja diluar waktu
yang telah disepakati, ia tidak mendapatkan upah.
Jika penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan tiga hal:
a. Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu
b. Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik
c. Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekadar pengganti pembiayaan.
2. Meninggalnya salah seorang yang akad
Jika
penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah,
walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal,
penggarap meneruskan pemeliharaanya walaupun ahli waris pemilik tidak
menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling
berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu
menolak, musyaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
3. Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
Di antara uzur yang dapat membatalkan musyaqah:
i. Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
ii. Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.
Menurut Ulama Malikiyah
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan.
Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan.
Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musyaqah
dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang
berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan
orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil
bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah.
Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang
tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada
kerelaan diantara keduanya.
Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur,
walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan
penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap
menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya,
tanggungjawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang
upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah,
musyaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu,
penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu
musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan
meneruskan pekerjaannya. Musyaqah dipandang batal jika penggarap
meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap
meneruskan pekerjannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika
ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.
Menurut Ulama Hanabilah.
Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni
termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian,
setiap sisi dari musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak
setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan
penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak
bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap
berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.
Jika
penggarap meninggal, musyaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat
diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak
boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya
dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika
tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap
sebatas yang dibutuhkan sehingga musyaqah sempurna.
Jika penggarap
kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab
ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan musyaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila
ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah
untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan kepada orang
lain, tetapi tanggungjawabnya tetap ditangan penggarap, sebagaimana
pendapat ulama Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara
menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama
Hanabilah pun berpendapat bahwa musyaqah dipandang selesai dengan
habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun
yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap
tidak mendapatkan apa-apa.
Masalah-masalah yang Terjadi dalam Musaqah.
a. Penggarap Tidak Mampu Bekerja
Penggarap
terkadang tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon
yang ada di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya,
seperti karena sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu
bekerja keras karena sakit atau bepergian yang mendesak, maka musaqah
menjadi fasakh (batal), apabila dalam akad musaqah disyaratkan bahwa
penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat diwakilkan), jika
tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal, akan
tetapi pengarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia
berhalangan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi.
Apabila
penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohon-pohon,
sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam malik, penggarap
berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu
mengurus pohon-pohon, orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang
dihasilkan dari musaqah karena orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai
dengan perjanjian. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa musaqah
adalah batal, apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus
pohon-pohon yang ada di kebun atau di sawah yang di musaqah-kan, sebab
penggarap telah kehilangan kemampuan utuk menggarapnya.
b. Wafat Salah Seorang ‘Aqid
Menurut
Mazhab hanafi, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia,
sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa
dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut, demi menjaga
kemaslahatan, maka penggarap melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan
oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga buah itu
masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakukan secara
paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam keadaan
seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan
matangnya buah, penggarap tidak berhak memperoleh upah.
Apabila
penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu
atau fasakhnya akad, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi jika mereka
memetik buah yang belum layak untuk dipanen, maka hal itu mustahil. Hak
berada pada pemilik atau ahli warisnya, maka dalam keadaan seperti ini
dapat dilakukan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Memetik buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
2. Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang, karena dialah yang berhak memotong atau memetik
3.
Pembiayaan pohon sampai buahnya matang (pantas untuk dipetik), kemudian
hal ini dipotong dari bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya
atau nilai harganya (uang).
Relevansi Musaqah dalam Perekonomian Modern.
Musaqah
seperti yang sudah dibahas sebelumnya merupakan akad kerjasama dalam
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik
lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan
dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati
dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan.
Aplikasi
dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang
dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap
hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Syafi’I
Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada
lima prinsip dasar dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau
simpanan (depeosito/ al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa
(operational lease and financial lease), jasa (fee-based services), dan
bagi hasil (profit sharing).
Dalam prinsip dasar yang disebutkan
terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah,
dan yang terakhir adalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu musaqah
(plantantion management fee based on certaain portion of yield). Dalam
konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi
nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi
hasil dari hasil panen kebun.
Dari semua pendapat ulama mengenai
objek musaqah, tentuna yang lebih relevan adalah pendapat yang
memboilehkan musaqah untuk semua tanaman atau pepohonan baik yaang
berbuah ataupun tidak seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika
melihat pendapat ulama yang membolehkan musaqah hanya sebatas pada kurma
dan anggur, maka hal ini akan menyia-nyiakan tanaman yang lain yang
juga mempunyai banyak manfaat. Apalagi, tidak semua pemilik kebun yang
bisa menggarap kebunnnya sendiri. Disamping itu, banyak juga orang yang
mempunyai skill untuk merawat kebun akan tetapi tidak memilki kebun.
Dari sinilah, hubungan antara pemilik kebun dan tukang kebun saling
melengkapi.
Contoh konkritnya diperbankan adalah ketika seorang
nasabah bekerja sama dengan bank yang mengembangkan dananya melalui
sektor riil semacam agrobisnis dan perkebunan. Dalam hal ini, bank
mencari seseorang atau beberapa pekerja yang dijadikan sebagai tukang
kebun yang bertugas merawat, menjaga, dan yang paling inti adalah
menyirami kebun tersebut. Ketika kebun tersebut sudak berbuah, maka bank
dan tukang kebun berbagi hasil sesuai dengan prosentase yang sudah
ditentukan pada awal akad.
(Fauzan Arrasyid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar