Sabtu, 17 September 2011

Musaqah Dalam Islam-3

Dampak musyaqah fasid menurut para ulama:
1. Dampak musyaqah fasid menurut ulama Hanafiyah:
a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun
c. Jika musyaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah

2. Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqah rusak sebelum penggarapan, upah tidak diberikan. Sebaliknya, apabila musyaqah rusak setelah penggarap bekerja atau pada pertengahan musyaqah, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik sedikit maupun banyak.
Di antara contoh musyaqah fasidah menurut golongan ini adalah penggarap mensyaratkan adanya tambahan tertentu dari pemilik, seakan-akan penggarap bekerja untuk mendapatkan upah.
Namun demikian, jika musyaqah rusak karena kemadaratan atau ada halangan, masalah musyaqah tetap diteruskan sekadarnya (musyaqah mitsil).
3. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan manfaat dari jerih payahnya dalam musyaqah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan musyaqah rusak, menurut golongan ini, adalah dua pihak tidak mengetahui bagiannya masing-masing; mensyaratkan uang dengan jumlah yang ditentukan; mensyaratkan jumlah buah tertentu, mensyaratkan pemilik harus bekerja; mensyaratkan mengerjakan sesuatu selain pohon.

Habis Waktu Musyaqah
Menurut Ulama Hanafiyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah sebagaimana dalam mujara’ah dianggap selesai dengan adanya tiga perkara:
1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
Jika waktu telah habis, tetapi belum menghasilkan apa-apa, penggarap boleh berhenti. Akan tetapi, jika penggarap meneruskan bekerja diluar waktu yang telah disepakati, ia tidak mendapatkan upah.


Jika penggarap menolak untuk bekerja, pemilik atau ahli warisnya dapat melakukan tiga hal:
a. Membagi buah dengan memakai persyaratan tertentu
b. Penggarap memberikan bagiannya kepada pemilik
c. Membiayai sampai berbuah, kemudian mengambil bagian penggarap sekadar pengganti pembiayaan.

2. Meninggalnya salah seorang yang akad
Jika penggarap meninggal, ahli warisnya berkewajiban meneruskan musyaqah, walaupun pemilik tanah tidak rela. Begitu pula jika pemilik meninggal, penggarap meneruskan pemeliharaanya walaupun ahli waris pemilik tidak menghendakinya. Apabila kedua orang yang akad meninggal, yang paling berhak meneruskan adalah ahli waris penggarap. Jika ahli waris itu menolak, musyaqah diserahkan kepada pemilik tanah.
3. Membatalkan, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
Di antara uzur yang dapat membatalkan musyaqah:
i. Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
ii. Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.

Menurut Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan. Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.
Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika tidak mempunyai modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang akan diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.
Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur, walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggungjawab penggarap dicabut kemudian diberikan kepada penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.
Menurut ulama Syafi’iyah, musyaqah selesai jika habis waktu. Jika buah keluar setelah habis waktu, penggarap tidak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaannya. Musyaqah dipandang batal jika penggarap meninggal, tetapi tidak dianggap batal jika pemilik meninggal. Penggarap meneruskan pekerjannya sampai mendapatkan hasilnya. Akan tetapi, jika ahli waris yang mewarisinya pun meninggal, akad menjadi batal.
Menurut Ulama Hanabilah.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah, buah tersebut dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian waktu akad.
Penggarap memiliki hak bagian dari hasilnya jika tampak. Dengan demikian, penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.
Jika penggarap meninggal, musyaqah dipandang tidak rusak, tetapi dapat diteruskan oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi hakim dapat menyuruh orang lain untuk mengelolanya dan upahnya diambil dari tirkah (peninggalannya). Akan tetapi, jika tidak memiliki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas yang dibutuhkan sehingga musyaqah sempurna.
Jika penggarap kabur sebelum penggarapannya selesai, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia dipandang telah rela untuk tidak mendapatkan apa-apa.
Jika pemilik membatalkan musyaqah sebelum tampak buah, pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya.
Apabila ada uzur yang tidak menyebabkan batalnya akad, misalnya penggarap lemah untuk mengelola amanat tersebut, pekerjaannya diberikan kepada orang lain, tetapi tanggungjawabnya tetap ditangan penggarap, sebagaimana pendapat ulama Syafi’iyah. Seandainya betul-betul lemah secara menyeluruh, pemilik mengambil alih dan mengambil upah untuknya.
Ulama Hanabilah pun berpendapat bahwa musyaqah dipandang selesai dengan habisnya waktu. Akan tetapi, jika keduanya menetapkan pada suatu tahun yang menurut kebiasaan akan ada buah, tetapi ternyata tidak, penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

Masalah-masalah yang Terjadi dalam Musaqah.
a. Penggarap Tidak Mampu Bekerja
Penggarap terkadang tidak selamanya mempunyai waktu untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun, tetapi kadang-kadang ada halangan untuk mengurusnya, seperti karena sakit atau bepergian. Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit atau bepergian yang mendesak, maka musaqah menjadi fasakh (batal), apabila dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak dapat diwakilkan), jika tidak disyaratkan demikian, maka musaqah tidak menjadi batal, akan tetapi pengarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi.
Apabila penggarap tidak mampu menggarap tugasnya mengurus pohon-pohon, sedangkan penjualan buah sudah waktunya, menurut Imam malik, penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya, yaitu mengurus pohon-pohon, orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah karena orang kedua dibayar oleh musaqi sesuai dengan perjanjian. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa musaqah adalah batal, apabila pengelola tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus pohon-pohon yang ada di kebun atau di sawah yang di musaqah-kan, sebab penggarap telah kehilangan kemampuan utuk menggarapnya.

b. Wafat Salah Seorang ‘Aqid
Menurut Mazhab hanafi, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut, demi menjaga kemaslahatan, maka penggarap melangsungkan pekerjaan atau dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya, sehingga buah itu masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal ini dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya, akad dan matangnya buah, penggarap tidak berhak memperoleh upah.
Apabila penggarap atau ahli waris berhalangan bekerja sebelum berakhirnya waktu atau fasakhnya akad, mereka tidak boleh dipaksa, tetapi jika mereka memetik buah yang belum layak untuk dipanen, maka hal itu mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya, maka dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Memetik buah dan dibaginya oleh dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
2. Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah uang, karena dialah yang berhak memotong atau memetik
3. Pembiayaan pohon sampai buahnya matang (pantas untuk dipetik), kemudian hal ini dipotong dari bagian penggarap, baik potongan itu dari buahnya atau nilai harganya (uang).


Relevansi Musaqah dalam Perekonomian Modern.
Musaqah seperti yang sudah dibahas sebelumnya merupakan akad kerjasama dalam pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu berdasarkan nisbah yang disepakati dari hasil panen yang benihnya berasal dari pemilik lahan.
Aplikasi dalam lembaga keuangan syariah, musaqah merupakan produk khusus yang dikembangkan di sektor pertanian atau agribisnis dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan.
Syafi’I Antonio dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada lima prinsip dasar dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau simpanan (depeosito/ al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease and financial lease), jasa (fee-based services), dan bagi hasil (profit sharing).
Dalam prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan yang terakhir adalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu musaqah (plantantion management fee based on certaain portion of yield). Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen kebun.
Dari semua pendapat ulama mengenai objek musaqah, tentuna yang lebih relevan adalah pendapat yang memboilehkan musaqah untuk semua tanaman atau pepohonan baik yaang berbuah ataupun tidak seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika melihat pendapat ulama yang membolehkan musaqah hanya sebatas pada kurma dan anggur, maka hal ini akan menyia-nyiakan tanaman yang lain yang juga mempunyai banyak manfaat. Apalagi, tidak semua pemilik kebun yang bisa menggarap kebunnnya sendiri. Disamping itu, banyak juga orang yang mempunyai skill untuk merawat kebun akan tetapi tidak memilki kebun. Dari sinilah, hubungan antara pemilik kebun dan tukang kebun saling melengkapi.
Contoh konkritnya diperbankan adalah ketika seorang nasabah bekerja sama dengan bank yang mengembangkan dananya melalui sektor riil semacam agrobisnis dan perkebunan. Dalam hal ini, bank mencari seseorang atau beberapa pekerja yang dijadikan sebagai tukang kebun yang bertugas merawat, menjaga, dan yang paling inti adalah menyirami kebun tersebut. Ketika kebun tersebut sudak berbuah, maka bank dan tukang kebun berbagi hasil sesuai dengan prosentase yang sudah ditentukan pada awal akad.

(Fauzan Arrasyid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar