Sabtu, 17 September 2011

Musaqah Dalam Islam-2

Rukun dan Syarat Musaqah
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun musyaqah adalah ijab dan qabul, seperti pada mujara’ah. Adapun yang bekerja adalah penggarap saja, tidak seperti dalam mujara’ah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ijab-qabul tidak cukup hanya dengan pekerjaan, tetapi harus dengan lafadz. Menurut Ulama Hanabilah, qabul dalam musyaqah, seperti dalam muzara’ah yang tidak memerlukan lafadz, cukup dengan menggarapnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkan dalam qabul dengan lafadz (ucapan) dan ketentuannya didasarkan pada kebiasaan umum.

Jumhur Ulama menetapkan bahwa rukun musyaqah ada lima, yaitu berikut ini.
1. Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal
2. Objek musyaqah
Objek musyaqah menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musyaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain, dengan dua syarat:
a. Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat diperjualbelikan
b. Akad ditentukan dengan waktu tertentu
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa musyaqah dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya dapat dilakukan pada kurma dan anggur saja. Kurma didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw terhadap orang Khaibar, sedangkan anggur hampir sama hukumnya dengan kurma bila ditinjau dari segi wajib zakatnya. Akan tetapi, madzhab qadim membolehkan semua jenis pepohonan.
3. Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak
4. Pekerjaan
Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas waktu, yaitu kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah.
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan waktu, baik dalam muzara’ah maupun musyaqah sebab Rasulullah saw pun tidak memberikan batasan ketika bermuamalah dengan orang khaibar.
5. Sighat
Menurut Ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebab berlainan akad. Adapun Ulama Hanabilah membolehkannya sebab yang terpenting adalah maksudnya.
Bagi orang yang mampu berbicara, qabul harus diucapkan agar akad menjadi lazim, seperti pada ijarah. Menurut Ulama Hanabilah, sebagaimana pada muzara’ah, tidak disyaratkan qabul dengan ucapan, melainkan cukup dengan mengerjakannya.
Apabila waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad, maka waktu yang berlaku adalah jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi sedikit, seperti terong.
Secara rinci, Sayyid Sabiq mengemukakan syarat-syarat musaqaah sebagai berikut .
a. Pohon yang dimusaqahkan dapat diketahui dengan melihat atau menerangkan sifat – sifat yang tidak berbeda dengan kenyataannya. Akad dinyatakan tidak sah apabila tidak diketahui dengan jelas
b. Jangka waktu yang dibutuhkan diketahui dengan jelas hal itu merupakan musaqah akad lazim (keharusan) yang menyerupai akad sewa – menyewa. Dengan kejelasan ini maka tidak dapat unsur ghoror. Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa penjelasan jangka waktu bukan syarat musaqah tetapi itu disunahkan.
Menurut kalangan madzhab Hanafi apabila jangka waktu musaqah telah berakhir sebelum buahnya matang maka pohon itu wajib dibiarkan kepada pihak penggarap, agar ia tetap menggarap hingga pohon tersebut berbuah matang.
c. Akad harus dilakukan sebelum buah tampak, karena dengan keadaan seperti itu, pohon memerlukan penggarapan. Namun apabila terklihat hasilnya, menurut sebagian ahli fiqh tidak dibolehkan musaqah karena tidak membutuhkan penggarapan walaupun tetap dilakukan maka namanya ijarah (sewa – menyewa) bukan lagi musaqah. Ada ulama yang membolehkannya.
d. Imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah diketahui dengan jelas misalnya separuh atau sepertiga. Jika dalam perjanjian ini syaratkan untuk penggarap atau pemilik pohon mengambil hasil dari pohon – pohon tertentu saja, atau keadaan tertentu maka musaqah tidak sah

Ketentuan-ketentuan Lain dalam Pelaksanaan Musaqah.
a. Tugas Penggarap.
Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah bahwa musaqi berkewajiban mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah, ditambahkan pula untuk setiap pohon yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah dan pertumbuhan batangnya.
Adapun yang dimaksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang tiap tahun adalah pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (incidental), seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan pohon-pohonnya (pengadaan bibit).
b. Hukum Musyaqah Sahih dan Fasid (Rusak)
1. Hukum musyaqah Sahih
Musyaqah sahih menurut para Ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan .
Menurut Ulama Hanafiyah, hukum musyaqah sahih adalah berikut ini.
i. Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada para penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
ii. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
iii. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa
iv. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
v. Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja , kecuali ada uzur
vi. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati
vii. Penggarap tidak memberikan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.

Ulama Malikiyah pada umunya menyepakati hokum-hukum yang ditetapkan ulam Hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan:
i. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan
ii. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap
iii. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain

Ulama Syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap di atas, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.

Hukum dan Dampak Musyaqah Fasid
Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah, antara lain:
i. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad
ii. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad
iii. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan
iv. Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan kepada penggarap hanya berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian, pemeriksaan dan hal-hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad
v. Mensyaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
vi. Mensyaratkan kepada penggaarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad
vii. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
viii. Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar